Ia menambahkan, perhitungan kerugian lingkungan sudah seharusnya menjadi domain Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), yang memiliki tupoksi dalam studi kelayakan tambang. Menurutnya, ahli lain yang diharkan, Guru Besar Bidang Ekonomi Kehutanan dan Lingkungan IPB, Prof. Dr. Sudarsono Soedomo, yang memberikan keterangan di persidangan, menguatkan pandangan tersebut.
“Pemerintah sudah menghitung dampak tambang terhadap lingkungan dan ekonomi sebelum memberikan izin usaha. Hal ini dilakukan melalui cost-benefit analysis untuk memastikan dampak positif lebih besar daripada dampak negatif,” urai Junaedi.
Junaedi juga mempertanyakan apakah langkah ini benar-benar untuk penegakan hukum atau justru didorong oleh ambisi tertentu.
“Jika aspek keilmuan diabaikan, proses hukum bisa terkesan hanya mengejar ambisi tertentu dan mencederai prinsip keilmuan yang diwariskan secara turun-temurun,” paparnya.
Oleh karena itu, ia meminta majelis hakim untuk berhati-hati dalam mengambil keputusan, mengingat perbedaan pendapat antara ahli geologi dan ahli kehutanan. “Ini bukan sekadar soal angka, tetapi soal memastikan bahwa penilaian dilakukan oleh pihak yang kompeten di bidangnya,” pungkasnya.
Sebagaimama diketahui, Direktur Utama PT Refined Bangka Tin (RBT), Suparta yang perusahaannya diwakili Harvey Moeis dihukum 14 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsidair 1 tahun kurungan.
Selain itu, Suparta juga dituntut melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) sebagaimana dakwaan kedua primair. (jpg)