JAKARTA, METRO–Anggota DPR RI fraksi Partai Gerindra Heri Gunawan menilai, PDI Perjuangan tidak perlu bermain drama dengan berpura-pura membela rakyat kecil. Pernyataan itu disampaikan merespons kritik yang dilontarkan sejumlah politikus PDI Perjuangan terkait kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen, mulai 1 Januari 2025.
“Semua tahu, bahwa kenaikan PPN 12 persen merupakan tanggung jawab PDIP yang kala itu menjadi pimpinan pengesahan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP),” kata Heri Gunawan kepada wartawan, Minggu (23/12).
Hergun menegaskan, dasar kenaikan PPN merupakan amanah dari Pasal 7 Ayat (1) UU HPP yang menyatakan tarif PPN sebesar 11 persen, berlaku 1 April 2022 dan tarif 12 persen berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025.
“Berdasarkan ketentuan UU HPP, kenaikan tarif PPN dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama sudah dilakukan pada 2022. Waktu itu PDIP paling bersemangat menyampaikan kenaikan PPN dan bahkan mau pasang badan. Sehingga aneh menjelang pemberlakuan tahap kedua, PDIP berpaling muka dan mengkritik dengan keras,” cetus Hergun.
Mantan anggota Panja UU HPP itu menjelaskan, pembahasan tingkat I UU HPP dilakukan di Komisi XI DPR. Saat itu yang menjabat sebagai Ketua Panja adalah kader PDIP Dolfi OFP. Selain itu, sebagai partai terbesar di DPR, PDIP juga mengirim anggotanya paling banyak di Panja.
“Pembahasan di tingkat I terbilang lancar. Hampir semua fraksi menyatakan persetujuannya terhadap UU HPP. Lalu, pembahasan dilanjutkan pada tingkat II yaitu di Rapat Paripurna DPR RI. Konfigurasinya tidak berbeda. Perlu diketahui, waktu itu Ketua DPR juga dijabat oleh kader PDIP Puan Maharani,” ungkap Hergun.
Ketua DPP Partai Gerindra itu menyatakan, pembentukan UU HPP sejatinya bertujuan memperkuat fondasi fiskal dan meningkatkan tax ratio Indonesia. Pasalnya, tax ratio Indonesia tercatat masih lebih rendah dibanding negara-negara lain.
“Pada 2021 tax ratio Indonesia tercatat sebesar 10,9 persen. Angka tersebut jauh di bawah rata-rata 36 negara Asia Pasifik yang sebesar 19,3 persen. Tax ratio Indonesia juga tercatat lebih rendah 22 poin persen dibanding negara-negara OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) dengan rata-rata 34 persen,” papar Hergun.
Hergun juga mengutarakan, berdasarkan catatan OECD, penerimaan pajak Indonesia masih didominasi pajak penghasilan (PPh) yaitu sebesar 5,1 persen dari PDB, disusul pajak pertambahan nilai (PPN) yaitu sebesar 3,4 persen dari PDB, dan terakhir dari cukai sebesar 1,6 persen dari PDB.
“Melihat kondisi tersebut, muncul kesamaan pandangan di kalangan anggota Panja untuk menyetujui kenaikan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen pada 2022 dan 12 persen pada 2025. Sebagaimana kita ketahui bersama, kenaikan tahap pertama yaitu dari 10 persen menjadi 11 persen sudah berlaku pada 2022,” urai Hergun.
Ia pun menyatakan keanehan atas sikap PDIP yang berubah 180 derajat. Seharusnya PDIP konsisten dengan sikapnya sejak di Panja Komisi XI, Rapat Paripurna DPR RI, hingga pemberlakuan kenaikan PPN tahap pertama pada 2022.
“Menjelang pemberlakukan kenaikan PPN tahap kedua pada 2025, PDIP berpura-pura membela rakyat. PDIP mengkritik keras kebijakan yang dulu dibuatnya. Sikap ini menunjukkan sikap sejati PDIP sebagai oportunis,” jelas Hergun.
Hergun melanjutkan, pemberlakuan kenaikan tahap kedua, bertepatan dengan masa-masa awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
“Kondisi ini tentunya dilematis. Namun sesuai sumpahnya, Presiden Prabowo akan tetap menjalankan ketentuan UU HPP. Namun, di sini kami perlu tegaskan, kenaikan PPN 12 persen hanya akan diberlakukan terhadap barang-barang yang dianggap mewah yang dikonsumsi oleh orang-orang yang mampu,” tegas Hergun.
“Presiden Prabowo selalu memikirkan kondisi rakyat kecil agar tidak terdampak kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen. Barang-barang kebutuhan rakyat kecil dibebaskan dari PPN atau 0 persen. Selain itu, Pak Prabowo juga sudah menyiapkan sejumlah bantuan kepada rakyat kecil agar tetap terjaga daya belinya,” sambungnya.
Lebih lanjut, Hergun berpandangan, para politisi seharusnya menunjukkan keteladanan dan konsistensi perjuangan. Ia menekankan, sikap PDIP yang berubah 180 derajat dipandang sebagai sikap oportunis yang memanfaatkan panggung demi menaikkan pencitraan.
“Sebaiknya PDIP mengambil sikap tegas sebagai opisisi terhadap pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Apalagi PDIP sudah memiliki pengalaman 10 tahun menjadi oposisi pemerintahan SBY. Dengan demikian, konfigurasi politik di parlemen akan menjadi jelas, siapa pendukung pemerintah dan siapa yang oposisi. Tidak seperti sekarang, PDIP terkesan menjadi partai yang tidak bertanggung jawab atas kebijakan yang dibuatnya,” pungkasnya.(jpc)