JAKARTA, METRO–Kekhawatiran terjadinya money politics atau politik uang dalam pilkada menjadi kenyataan. Berdasar data yang dihimpun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) hingga pukul 16.00 WIB kemarin, terdapat 130 kasus dugaan pelanggaran politik yang tercatat di seluruh Indonesia.
Anggota Bawaslu Puadi mengatakan, 130 kasus tersebut berasal dari dua kategori. Yakni, temuan pengawas dan laporan masyarakat. Data itu berpotensi bergerak karena laporan masih terus masuk.
Kasus politik uang, lanjut dia, tersebar di berbagai daerah. Termasuk di Jawa Timur yang ditemukan di Pasuruan, Kota Batu, Probolinggo, dan Sumenep. Selain itu, Sleman, Mamuju, Bireuen, dan lain-lain.
Kasus-kasus itu tengah dikaji oleh jajaran Bawaslu masing-masing daerah. Pengkajian dilakukan untuk mengecek keterpenuhan syarat formil atau materiilnya. “Kajian hukum dalam lima hari kalender,’’ ujarnya di kantor Bawaslu Jakarta.
Ketua Bawaslu Rahmat Bagja memastikan proses pengkajian dilakukan secara komprehensif. Jika terbukti, pihaknya siap memproses secara pidana di Gakkumdu. Bukan hanya pemberi, penerima juga terancam sanksi serupa.
“Pemberi maupun penerima bisa dipidana,’’ ujarnya. Ancaman pidananya adalah penjara 36 sampai 72 bulan dan denda Rp 200 juta sampai Rp 1 miliar.
Modus politik uang tersebut cukup beragam. Bahkan, ada operasi tangkap tangan (OTT) di Mimika, Pasuruan, Bengkulu dengan barang bukti uang tunai ratusan juta rupiah.
Selain politik uang, Bagja juga mencermati gangguan keamanan di Puncak Jaya, Papua. Pasalnya, telah terjadi gangguan keamanan yang berawal dari pilkada. “Beberapa pembakaran rumah terjadi,’’ ujarnya. Dia akan menelisik apakah ada unsur pelanggaran pilkada di dalamnya. Selain Papua, pelaksanaan pilkada secara umum dianggap cukup baik. Meskipun ada beberapa TPS terkendala bencana alam.
Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto meminta publik untuk menggunakan jalur hukum bila menemukan kecurangan. Dia mengimbau masyarakat tidak ragu melapor kepada Bawaslu. Bima meyakini, profesionalisme para penyelenggara pemilu telah terlatih dan dapat diandalkan.
Hoaks Terkait
Pilkada Terkendali
Sementara itu, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) melakukan pemantauan percakapan soal Pilkada Serentak di media sosial (medsos).
Hasilnya, puncak percakapan soal Pilkada dterjadi pada H-2 coblosan atau tanggal 25 November.
Hasil pemantauan itu menyimpulkan 75 persen percakapan cenderung netral. Kemudian 19 persen percakapan isinya bernada positif. Hasil temuan itu menunjukkan mayoritas masyarakat Indonesia menginginkan pelaksanaan Pilkada Serentak berjalan lancar dan aman.
Menteri Komdigi Meutya Hafid mengatakan, salah satu yang mereka pantau di medsos adalah adanya sebaran hoaks. “Kami bersyukur bahwa sejauh ini, potensi hoaks terkait Pilkada tetap terkendali,” katanya. (jpg)
Komentar