[ADINSERTER AMP]

Geopark Meratus, Harapan Cuan Warga Belangian dan Suplai Oksigen Dunia

TAHURA SULTAN ADAM— Rombongan peserta Powarnas dari PWI Sumbar (ki-ka), Reviandi, Amiruddin, Emil Mahmudsyah dan Guspa, mengunjungi Taman Hutan Raya Sultan Adam, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, Rabu (21/8). Di sini masih ada sebuah desa sangat terpencil dan terisolir di kaki Pegunungan Meratus.

Oleh: Reviandi (PWI Sumatra Barat — Banjar Kalsel)

HUTAN adalah kehidupan, mungkin masih menjadi kalimat basa-basi bagi banyak orang. Tapi tidak untuk warga Desa Belangian, Kecamatan Aranio, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan (Kalsel). Se­buah desa sangat terpencil dan terisolir di kaki Pegunungan Meratus.

POHON BENUANG LAKI— Sebuah pohon cukup mencolok dan disebut pohon benuang laki yang berdiameter 2,25 meter dan tinggi 50-60 meter dan sudah berumur sekitar 70-80 tahun, di Desa Belangian, Kecamatan Aranio, Kabupaten Banjar, Kalsel.

Penduduk desa ini bukanlah desa yang alami, karena penduduknya bukan pen­duduk asli. Bukan suku Dayak Kalimantan yang menetap karena sudah menerima dunia luar. Penghuninya adalah pengungsi akibat desa lama mereka, Desa Kalaan yang terkena imbas proyek nasional Waduk Riam Kanan, danau buatan karena diba­ngunnya bendungan untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA).Tahun 1960-an mereka harus “terusir” dari tanah­nya untuk proyek besar yang diresmikan Presiden Indonesia Soeharto pada tahun 1973.

Pada agenda Pekan Olah­raga Wartawan Nasional (Porwanas) XIV di Kaliman­tan Selatan (Kalsel) 19–26 Agustus 2024, puluhan war­tawan diajak panitia lokal dan SIW PWI pusat me­ngunjungi lokasi ini, Rabu (21/8). Dari awal menang sudah terasa ngeri dan jauhnya lokasi, saat panitia menggelar technical mee­ting di hari pertama Por­wanas. Untuk menuju loka­si, harus ditempuh dengan jarak yang sangat jauh dan medan berbahaya.

Rata-rata, peserta Por­wanas menginap di Kota Banjarmasin. Dari sana, pagi-pagi peserta harus bergerak ke titik 0 Km Ban­jarmasin untuk bertolak ke Bukit Batu, Kabupaten Ban­jar selama dua jam.

Naik turun pegunungan ditempuh sejumlah bus tua yang membawa peserta. Sampai di Bukit Batu, lang­sung menuju dermaga un­tuk bertolak ke Desa Bela­ngian. Sekitar 1,5 jam, menaiki kapal kayu yang disebut klotok dengan arus yang cukup tenang, tapi membuat gamang. Petu­gas Polsek Aranio turut menjaga perjalanan.

Di Desa Belangian, sam­butan hangat mulai terasa. Desa yang sangat asri meski telah dipoles oleh pemerintah sebagai desa wisata untuk me­nyam­­but para turis. Tokoh-tokoh desa mengalungkan sasirangan atau batik ke­pada perwakilan para ta­mu. Setiba di sana, peserta dikumpulkan di halaman Masjid Al Jihad Belangian. Puluhan sepeda motor leng­kap dengan driver ojek­nya sudah menunggu satu-satu peserta.

Saya kebetulan diberi­kan driver bernama Rizal (32), yang mengaku sangat senang kalau ada orang berkunjung ke Belangian. Satu trip mengantar ke hutan, dia dapat Rp40 ribu. Belum untuk kembali de­ngan dana yang sama. Su­dah tiga tahun Rizal me­ngojek di lokasi kelahiran­nya itu. Dia punya dua anak, satu SD di Belangian dan satu lagi kelas 2 MTS di luar desa. Di desanya belum ada sekolah kecuali SDN Belangian.

Tanpa ragu Rizal me­ngantar saya dan lainnya melintasi jalanan mendaki yang sudah dibeton selebar 2-3 meter. Meski untuk sepeda motor biasa, jalan itu cukup berat dan harus ekstra hati-hati dan ngeri-ngeri sedap. Pengemudi dan penumpang sama-sa­ma tak pakai helm. Perhen­tian pertama di Hapunit Pos 1 sejauh 2,27 Km. Di lokasi ini ada shelter kem­bar yang dibangun dari dana Pemprov Kalsel sejak tahun 2019.

Seorang petugas UPT Tahura Sultan Adam, Dinas Kehutanan Provinsi Kalsel Abidin Nahdi yang diminta panitia memberikan pen­jelasan menyebut, hutan ini adalah sumber kehi­dupan langsung atau tidak langsung 350 warga atau 105 KK di Belangian. Di sana ditanam pohon karet, jengkol, petai, kemiri, jam­bu mete, trembesi dan lainnya.

“Ini adalah pohon-po­hon yang ditanam untuk membantu warga. Bukan pohon-pohon besar yang ada di hutan. Karena masih tiga tahun, mungkin belum banyak yang bisa diman­faatkan dengan maksi­mal,” katanya didampingi tim dari SIWO PWI pusat.

Bambang Susilo, petu­gas Seksi Perlindungan Hutan Dinas Kehutanan Kalsel mengatakan, hutan di kawasan ini juga menjadi tempat lokasi hutan reboi­sasi. Karena perusahan pemilik izin pinjam pakai yang diwajibkan melaku­kan rehabilitasi hutan. Me­reka menanam aneka tana­man. Satu IPKH (Izin Pe­ngelolaan Kawasan Hutan) bisa menanam 300 hektare.

“Saat ini sudah 1.500 hektare yang sudah dita­nam perusahan peme­gang izin pinjam pakai. Seperti PT Adaro yang menggguna­kan lahan ratusan hektare. Kewajiban mereka me­ngelola hutan ini semala tiga tahun. Dilakukan pe­nilaian. Kalau diterima maka akan diserahkan lagi ke masyarakat. Nanti yang menikmati masyarakat,” kata Bambang.

Bambang juga menye­but, sebenarnya selain le­wat jalur waduk, ke Be­langian bisa ditempuh jalur darat. Tapi dengan kenda­raan motor trail dan seje­nisnya, karena jalan yang masih setapak. “Ini yang diharapkan masyarakat. Agar suatu saat bisa meng­gunakan jalur darat yang lebih cepat. Melewati Desa Kiram, meski jauh tapi karena jalur darat bisa lebih cepat,” katanya.

Bambang menyebut, di hutan itu juga masih ba­nyak satwa endemik seper­ti rusa, kijang, macan, bu­rung, rusa, beruang madu, babi hutan, bekantan dan lainnya. “Yang pasti, se­mua warga di sini ber­tanggung jawab meme­lihara hutan ini untuk sum­ber rezeki mereka. Juga untuk menghasilkan oksi­gen sebagai paru-paru du­nia,” kata Bambang.

Melanjutkan perjala­nan dengan ojek, kami dibawa ke sebuah titik yang ter­dapat pohon yang menco­lok. Disebut pohon be­nuang laki yang berdia­meter 2,25 meter dan tinggi 50-60 meter.

Diperkirakan sudah be­r­­umur sekitar 70-80 tahun. “Pohon ini istimewa. Sa­ngat kuat dan berumur panjang. Akar tunjang be­sar dan kuat. Biasa digu­nakan untuk perkakas ru­mah tangga. Tapi yang ini tidak bisa ditebang karena berada di hutan lindung,” katanya.

Meninggalkan pohon “keramat” peserta berge­rak ke ujung jalan yaitu di Sungai Lua. Di sana jalan beton berakhir. Perjalanan ini berjarak 1,7 KM saja dengan medan terjal. Mes­ki ada juga yang terbuat dari rangkaian paving block. Panorama sungai dan bebatuan memang memesona di ujung sana.

Di Geopark Meratus yang memiliki luas 3646 KM2. Geopark yang sebe­narnya tersebar di enam daerah di Kalsel, yaitu Kota Banjarmasin, Banjarbaru, Barito, Banjar, Tapin dan Hulu Sungai Selatan.

Tak salah kiranya, ka­lau kawasan ini disebut-sebut sesuai dengan tema Meratus yaitu soul of Bor­neo atau jiwa Borneo (Kali­mantan). Dikelola oleh Pok­darwis Kahung Raya yang benar-benar mengelola semua tanaman dan kebu­dayaan yang ada di Be­langian.

Sesepuh desa, Hasriani yang baru mengakhiri tu­gas­nya sebagai Ketua Pok­darwis Kahung Raya 2013-2024 di balai pertemuan desa mengatakan, Pokdar­wis yang sekarang dikelola sebagai Bumdes (Badan Usaha Milik Desa) ini ber­diri November 2013 atau 11 tahun lalu. “Banyak yang sudah kami kerjakan untuk mengelola desa ini men­jadi lebih hidup ekono­minya. Sekarang, semua berjalan dengan baik dan dijaga serta dikembang­kan,” katanya.

Pada awalnya, katanya, tugas anggota Pokdarwis adalah memperbaiki jalur-jalur sungai agar bisa dia­tur dan tidak memba­haya­kan penduduk. Menggiring aliran sungai agar sedikit berubah. “Kami membuat usulan kepada Pemprov dan 2022 dibuatkan bebe­rapa shelter. Pos 1 dua, pos 2 satu dan pos 3 satu shelter. Pada awalnya banyak turis mancanegara datang tapi menurun saat bom Bali meletus. Mereka banyak yang melakukan penelitian, wisata dan lainnya,” kata­nya yang sekarang me­milih menjadi pembina Pokdarwis.

Hasriani mengatakan, banyak objek wisata yang bisa dijual di Belangian, seperti arum jeram, pohon-pohon besar, bebatuan purba dan aneka burung, beruang, rusa dan ular. Ada air terjun sebanyak 4 titik. “Tinggi 24 meter ada 4 jam perjalanan. Air terjun kawah kecil. Kalaan kecil dan lainnya. Ada puncak tertinggi. Pulang Kahung besar 1,465 MDPL (meter dari permukaan laut). Ada juga bukit-bukit dengan rata-rata ketinggian 1.000 meter. Baru lima yang terja­mah warga tapi belum ter­lintas pendaki,” katanya.

Ke depan, katanya, Pok­darwis berencana untuk membuat agar lebih mena­rik lagi wisata yang ada. Serta memperbaiki sarana untuk pengunjung. “Seka­rang untuk Mapala (maha­siswa pencinta alam) kami gratiskan semua. Baik Ma­pala di manapun di Indonesia. Kalau untuk wisata­wan Rp100 ribu saja per kepala per 24 jam. Jadi, kami tidak mematok mahal-mahal,” katanya.

Pembakal atau Kepala Desa Belangian Aunul Khair mengatakan, sebutan ke­pa­la desa memang kurang popular di sana. Melainkan pembakal yang nama ini juga sudah diatur oleh Peraturan Bupati Banjar. “Pada tahu 1965, namanya desa penduduk kami Desa Kalaan Ada pembangunan Waduh Riam Kanan dimu­lai Semenjak itulah, mulai dari tahun 1965-1970 mulai mengungsi. Tahun 1970–an, warga kami pindah ke Wila­yah Riang Hantu tapi se­bentar saja,” katanya.

Saat itu, PLN memberi tahu Desa Riang Hantu akan tenggelam. Batas 65 meter. Di tahun 73 pindah ke Belangin. Sampai 82, jadi desa pemekaran Desa Ka­laan. 89 jadi desa definitif jadi Desa Belangian Kena­pa awalnya Riang Hantu jadi Belangian. Ada yang namanya Telok Belangian. Tempat sesajen.

“Akhirnya 1982 desa kita harus diberikan nama. Oleh Pemda mengusulkan Belangian. Jadi Belangian dari dua kata. Bale dan Rarangian atau tempat halus. Karena di sini dulu angker. Banyak keperca­yaan ada hantu. Ditetapkan jadi desa wisata 2019 oleh Dinas Pariwisara Kabupa­ten Banjar. Meski sejak 1982 sudah ada berbagai wisata. Edukasi, pertanian, kehutanan, kerajinan dan lainnya,” katanya.

Katanya, untuk edukasi kerajinan, mereka meman­faatkan bahan batik atau sasirangan ekoprint. “Kami memadu padankan dua itu. Jadinya saecoprint. Bahan-bahannya ada di sini. Mulai dari pewarnaan seperti serbuk kayu ulin, serbuk alaban (arang kayu), akar Bingkudu, kunyit, kulit aka­ sia, kulit mahoni dan lain­nya. Untuk motif digunakan daun-daun. Yang bisa digu­nakan untuk pemotivan warna adalah daun tak banyak air. Daun yang mau tinggalkan jejak di kain. Karena terlalu banyak air dan licin tak bisa dipakai,” katanya.

Untuk pembuatan ada dua cara. Pertama dipukul-pukul (ponding). Kedua kukus. Cuma susun daun di atas lain. “Hasil ecoprint ini istimewa dan langka. Ka­rena tak ada corak daun atau motif yang sama,” sebutnya.

Hutan hujan tropis, ka­tanya, adalah anugerah yang tak terbantahkan oleh penduduk yang mayoritas beragama Islam itu. “Sa­ngat banyak satwa dan pohon. Burung, beruang, ular, monyet rusa dan lain­nya. Ada juga burung lang­ka seperti anggang atau harwey. Bulunya katanya bisa menjadi pengusir ha­ma tanaman. Hutan masih perawan. Pesan Geopark meratus tidak hanya beba­tuan, pohon dan hewan. Tapi juga melaksanakan pemeliharaan. Kayu-kayu ada yang memelihara. Ada tanggung jawab masing-masing. Satu orang ber­tang­gung jawab terhadap satu jenis pohon,” katanya.

Luas hutan mencapai 24.000 hektare. Ditambah danau Riang Kanan seki­tar 9.000 hektare. “Mayoritas penduduk petani, pekebun, peternak. Kami juga men­jaga dengan membentuk masyarakat peduli api (MPA). Juga menyediakan kapal atau klotok kecil untuk membantu hal-hal darurat ke pusat kota,” katanya.

Dia menyebut, Desa Belangian masuk dalam kawasan Geopark Meratus atau berada di pengu­nu­ngan Meratus sebagai sa­lah satu situs dari 54 situs yang ditetapkan secara nasional pada 2018. Desa yang juga masuk kawasan Taman Hutan Raya (Ta­hura) Sultan Adam ditetap­kan melalui Keppres RI Nomor 52 tahun 1989 tang­gal 18 Oktober 1989.

Desa Belangian juga banyak dikunjungi para peneliti karena sebagai salah satu situs Geopark Pegunungan Meratus Na­sional yang kini diajukan untuk diakui UNESCO Global Geopark (UGG).

Pegunungan Meratus merupakan pegunungan dalam ilmu geologi, terben­tuk dari susunan kerak samudera yang disebut ophiolite, yang terangkat ke permukaan sejak 200-150 juta tahun lalu.

Dengan potensi sebe­sar ini, artinya Desa Bela­ngian juga akan sangat terbantu jika kawasan geo­park ini menjadi lebih baik dalam pengelolaan. Ha­rapan untuk tetap hidup dan mendapatkan cuan akan terus ada. Di samping menjadi satu tempat peng­hasil oksigen atau paru-paru dunia. Semoga dari unsur pemerintah, masya­rakat adat dan semua pe­ngunjung bisa melestari­kannya secara berkelan­jutan. (rvi)

[ADINSERTER AMP]
Exit mobile version