Di Geopark Meratus yang memiliki luas 3646 KM2. Geopark yang sebenarnya tersebar di enam daerah di Kalsel, yaitu Kota Banjarmasin, Banjarbaru, Barito, Banjar, Tapin dan Hulu Sungai Selatan.
Tak salah kiranya, kalau kawasan ini disebut-sebut sesuai dengan tema Meratus yaitu soul of Borneo atau jiwa Borneo (Kalimantan). Dikelola oleh Pokdarwis Kahung Raya yang benar-benar mengelola semua tanaman dan kebudayaan yang ada di Belangian.
Sesepuh desa, Hasriani yang baru mengakhiri tugasnya sebagai Ketua Pokdarwis Kahung Raya 2013-2024 di balai pertemuan desa mengatakan, Pokdarwis yang sekarang dikelola sebagai Bumdes (Badan Usaha Milik Desa) ini berdiri November 2013 atau 11 tahun lalu. “Banyak yang sudah kami kerjakan untuk mengelola desa ini menjadi lebih hidup ekonominya. Sekarang, semua berjalan dengan baik dan dijaga serta dikembangkan,” katanya.
Pada awalnya, katanya, tugas anggota Pokdarwis adalah memperbaiki jalur-jalur sungai agar bisa diatur dan tidak membahayakan penduduk. Menggiring aliran sungai agar sedikit berubah. “Kami membuat usulan kepada Pemprov dan 2022 dibuatkan beberapa shelter. Pos 1 dua, pos 2 satu dan pos 3 satu shelter. Pada awalnya banyak turis mancanegara datang tapi menurun saat bom Bali meletus. Mereka banyak yang melakukan penelitian, wisata dan lainnya,” katanya yang sekarang memilih menjadi pembina Pokdarwis.
Hasriani mengatakan, banyak objek wisata yang bisa dijual di Belangian, seperti arum jeram, pohon-pohon besar, bebatuan purba dan aneka burung, beruang, rusa dan ular. Ada air terjun sebanyak 4 titik. “Tinggi 24 meter ada 4 jam perjalanan. Air terjun kawah kecil. Kalaan kecil dan lainnya. Ada puncak tertinggi. Pulang Kahung besar 1,465 MDPL (meter dari permukaan laut). Ada juga bukit-bukit dengan rata-rata ketinggian 1.000 meter. Baru lima yang terjamah warga tapi belum terlintas pendaki,” katanya.
Ke depan, katanya, Pokdarwis berencana untuk membuat agar lebih menarik lagi wisata yang ada. Serta memperbaiki sarana untuk pengunjung. “Sekarang untuk Mapala (mahasiswa pencinta alam) kami gratiskan semua. Baik Mapala di manapun di Indonesia. Kalau untuk wisatawan Rp100 ribu saja per kepala per 24 jam. Jadi, kami tidak mematok mahal-mahal,” katanya.
Pembakal atau Kepala Desa Belangian Aunul Khair mengatakan, sebutan kepala desa memang kurang popular di sana. Melainkan pembakal yang nama ini juga sudah diatur oleh Peraturan Bupati Banjar. “Pada tahu 1965, namanya desa penduduk kami Desa Kalaan Ada pembangunan Waduh Riam Kanan dimulai Semenjak itulah, mulai dari tahun 1965-1970 mulai mengungsi. Tahun 1970–an, warga kami pindah ke Wilayah Riang Hantu tapi sebentar saja,” katanya.
Saat itu, PLN memberi tahu Desa Riang Hantu akan tenggelam. Batas 65 meter. Di tahun 73 pindah ke Belangin. Sampai 82, jadi desa pemekaran Desa Kalaan. 89 jadi desa definitif jadi Desa Belangian Kenapa awalnya Riang Hantu jadi Belangian. Ada yang namanya Telok Belangian. Tempat sesajen.
“Akhirnya 1982 desa kita harus diberikan nama. Oleh Pemda mengusulkan Belangian. Jadi Belangian dari dua kata. Bale dan Rarangian atau tempat halus. Karena di sini dulu angker. Banyak kepercayaan ada hantu. Ditetapkan jadi desa wisata 2019 oleh Dinas Pariwisara Kabupaten Banjar. Meski sejak 1982 sudah ada berbagai wisata. Edukasi, pertanian, kehutanan, kerajinan dan lainnya,” katanya.
Katanya, untuk edukasi kerajinan, mereka memanfaatkan bahan batik atau sasirangan ekoprint. “Kami memadu padankan dua itu. Jadinya saecoprint. Bahan-bahannya ada di sini. Mulai dari pewarnaan seperti serbuk kayu ulin, serbuk alaban (arang kayu), akar Bingkudu, kunyit, kulit aka sia, kulit mahoni dan lainnya. Untuk motif digunakan daun-daun. Yang bisa digunakan untuk pemotivan warna adalah daun tak banyak air. Daun yang mau tinggalkan jejak di kain. Karena terlalu banyak air dan licin tak bisa dipakai,” katanya.
Untuk pembuatan ada dua cara. Pertama dipukul-pukul (ponding). Kedua kukus. Cuma susun daun di atas lain. “Hasil ecoprint ini istimewa dan langka. Karena tak ada corak daun atau motif yang sama,” sebutnya.
Hutan hujan tropis, katanya, adalah anugerah yang tak terbantahkan oleh penduduk yang mayoritas beragama Islam itu. “Sangat banyak satwa dan pohon. Burung, beruang, ular, monyet rusa dan lainnya. Ada juga burung langka seperti anggang atau harwey. Bulunya katanya bisa menjadi pengusir hama tanaman. Hutan masih perawan. Pesan Geopark meratus tidak hanya bebatuan, pohon dan hewan. Tapi juga melaksanakan pemeliharaan. Kayu-kayu ada yang memelihara. Ada tanggung jawab masing-masing. Satu orang bertanggung jawab terhadap satu jenis pohon,” katanya.
Luas hutan mencapai 24.000 hektare. Ditambah danau Riang Kanan sekitar 9.000 hektare. “Mayoritas penduduk petani, pekebun, peternak. Kami juga menjaga dengan membentuk masyarakat peduli api (MPA). Juga menyediakan kapal atau klotok kecil untuk membantu hal-hal darurat ke pusat kota,” katanya.
Dia menyebut, Desa Belangian masuk dalam kawasan Geopark Meratus atau berada di pengunungan Meratus sebagai salah satu situs dari 54 situs yang ditetapkan secara nasional pada 2018. Desa yang juga masuk kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Adam ditetapkan melalui Keppres RI Nomor 52 tahun 1989 tanggal 18 Oktober 1989.
Desa Belangian juga banyak dikunjungi para peneliti karena sebagai salah satu situs Geopark Pegunungan Meratus Nasional yang kini diajukan untuk diakui UNESCO Global Geopark (UGG).
Pegunungan Meratus merupakan pegunungan dalam ilmu geologi, terbentuk dari susunan kerak samudera yang disebut ophiolite, yang terangkat ke permukaan sejak 200-150 juta tahun lalu.
Dengan potensi sebesar ini, artinya Desa Belangian juga akan sangat terbantu jika kawasan geopark ini menjadi lebih baik dalam pengelolaan. Harapan untuk tetap hidup dan mendapatkan cuan akan terus ada. Di samping menjadi satu tempat penghasil oksigen atau paru-paru dunia. Semoga dari unsur pemerintah, masyarakat adat dan semua pengunjung bisa melestarikannya secara berkelanjutan. (rvi)













