Oleh: Reviandi (PWI Sumatra Barat — Banjar Kalsel)
HUTAN adalah kehidupan, mungkin masih menjadi kalimat basa-basi bagi banyak orang. Tapi tidak untuk warga Desa Belangian, Kecamatan Aranio, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan (Kalsel). Sebuah desa sangat terpencil dan terisolir di kaki Pegunungan Meratus.
Penduduk desa ini bukanlah desa yang alami, karena penduduknya bukan penduduk asli. Bukan suku Dayak Kalimantan yang menetap karena sudah menerima dunia luar. Penghuninya adalah pengungsi akibat desa lama mereka, Desa Kalaan yang terkena imbas proyek nasional Waduk Riam Kanan, danau buatan karena dibangunnya bendungan untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA).Tahun 1960-an mereka harus “terusir” dari tanahnya untuk proyek besar yang diresmikan Presiden Indonesia Soeharto pada tahun 1973.
Pada agenda Pekan Olahraga Wartawan Nasional (Porwanas) XIV di Kalimantan Selatan (Kalsel) 19–26 Agustus 2024, puluhan wartawan diajak panitia lokal dan SIW PWI pusat mengunjungi lokasi ini, Rabu (21/8). Dari awal menang sudah terasa ngeri dan jauhnya lokasi, saat panitia menggelar technical meeting di hari pertama Porwanas. Untuk menuju lokasi, harus ditempuh dengan jarak yang sangat jauh dan medan berbahaya.
Rata-rata, peserta Porwanas menginap di Kota Banjarmasin. Dari sana, pagi-pagi peserta harus bergerak ke titik 0 Km Banjarmasin untuk bertolak ke Bukit Batu, Kabupaten Banjar selama dua jam.
Naik turun pegunungan ditempuh sejumlah bus tua yang membawa peserta. Sampai di Bukit Batu, langsung menuju dermaga untuk bertolak ke Desa Belangian. Sekitar 1,5 jam, menaiki kapal kayu yang disebut klotok dengan arus yang cukup tenang, tapi membuat gamang. Petugas Polsek Aranio turut menjaga perjalanan.
Di Desa Belangian, sambutan hangat mulai terasa. Desa yang sangat asri meski telah dipoles oleh pemerintah sebagai desa wisata untuk menyambut para turis. Tokoh-tokoh desa mengalungkan sasirangan atau batik kepada perwakilan para tamu. Setiba di sana, peserta dikumpulkan di halaman Masjid Al Jihad Belangian. Puluhan sepeda motor lengkap dengan driver ojeknya sudah menunggu satu-satu peserta.
Saya kebetulan diberikan driver bernama Rizal (32), yang mengaku sangat senang kalau ada orang berkunjung ke Belangian. Satu trip mengantar ke hutan, dia dapat Rp40 ribu. Belum untuk kembali dengan dana yang sama. Sudah tiga tahun Rizal mengojek di lokasi kelahirannya itu. Dia punya dua anak, satu SD di Belangian dan satu lagi kelas 2 MTS di luar desa. Di desanya belum ada sekolah kecuali SDN Belangian.
Tanpa ragu Rizal mengantar saya dan lainnya melintasi jalanan mendaki yang sudah dibeton selebar 2-3 meter. Meski untuk sepeda motor biasa, jalan itu cukup berat dan harus ekstra hati-hati dan ngeri-ngeri sedap. Pengemudi dan penumpang sama-sama tak pakai helm. Perhentian pertama di Hapunit Pos 1 sejauh 2,27 Km. Di lokasi ini ada shelter kembar yang dibangun dari dana Pemprov Kalsel sejak tahun 2019.
Seorang petugas UPT Tahura Sultan Adam, Dinas Kehutanan Provinsi Kalsel Abidin Nahdi yang diminta panitia memberikan penjelasan menyebut, hutan ini adalah sumber kehidupan langsung atau tidak langsung 350 warga atau 105 KK di Belangian. Di sana ditanam pohon karet, jengkol, petai, kemiri, jambu mete, trembesi dan lainnya.
“Ini adalah pohon-pohon yang ditanam untuk membantu warga. Bukan pohon-pohon besar yang ada di hutan. Karena masih tiga tahun, mungkin belum banyak yang bisa dimanfaatkan dengan maksimal,” katanya didampingi tim dari SIWO PWI pusat.
Bambang Susilo, petugas Seksi Perlindungan Hutan Dinas Kehutanan Kalsel mengatakan, hutan di kawasan ini juga menjadi tempat lokasi hutan reboisasi. Karena perusahan pemilik izin pinjam pakai yang diwajibkan melakukan rehabilitasi hutan. Mereka menanam aneka tanaman. Satu IPKH (Izin Pengelolaan Kawasan Hutan) bisa menanam 300 hektare.
“Saat ini sudah 1.500 hektare yang sudah ditanam perusahan pemegang izin pinjam pakai. Seperti PT Adaro yang mengggunakan lahan ratusan hektare. Kewajiban mereka mengelola hutan ini semala tiga tahun. Dilakukan penilaian. Kalau diterima maka akan diserahkan lagi ke masyarakat. Nanti yang menikmati masyarakat,” kata Bambang.
Bambang juga menyebut, sebenarnya selain lewat jalur waduk, ke Belangian bisa ditempuh jalur darat. Tapi dengan kendaraan motor trail dan sejenisnya, karena jalan yang masih setapak. “Ini yang diharapkan masyarakat. Agar suatu saat bisa menggunakan jalur darat yang lebih cepat. Melewati Desa Kiram, meski jauh tapi karena jalur darat bisa lebih cepat,” katanya.
Bambang menyebut, di hutan itu juga masih banyak satwa endemik seperti rusa, kijang, macan, burung, rusa, beruang madu, babi hutan, bekantan dan lainnya. “Yang pasti, semua warga di sini bertanggung jawab memelihara hutan ini untuk sumber rezeki mereka. Juga untuk menghasilkan oksigen sebagai paru-paru dunia,” kata Bambang.
Melanjutkan perjalanan dengan ojek, kami dibawa ke sebuah titik yang terdapat pohon yang mencolok. Disebut pohon benuang laki yang berdiameter 2,25 meter dan tinggi 50-60 meter.
Diperkirakan sudah berumur sekitar 70-80 tahun. “Pohon ini istimewa. Sangat kuat dan berumur panjang. Akar tunjang besar dan kuat. Biasa digunakan untuk perkakas rumah tangga. Tapi yang ini tidak bisa ditebang karena berada di hutan lindung,” katanya.
Meninggalkan pohon “keramat” peserta bergerak ke ujung jalan yaitu di Sungai Lua. Di sana jalan beton berakhir. Perjalanan ini berjarak 1,7 KM saja dengan medan terjal. Meski ada juga yang terbuat dari rangkaian paving block. Panorama sungai dan bebatuan memang memesona di ujung sana.
Di Geopark Meratus yang memiliki luas 3646 KM2. Geopark yang sebenarnya tersebar di enam daerah di Kalsel, yaitu Kota Banjarmasin, Banjarbaru, Barito, Banjar, Tapin dan Hulu Sungai Selatan.
Tak salah kiranya, kalau kawasan ini disebut-sebut sesuai dengan tema Meratus yaitu soul of Borneo atau jiwa Borneo (Kalimantan). Dikelola oleh Pokdarwis Kahung Raya yang benar-benar mengelola semua tanaman dan kebudayaan yang ada di Belangian.
Sesepuh desa, Hasriani yang baru mengakhiri tugasnya sebagai Ketua Pokdarwis Kahung Raya 2013-2024 di balai pertemuan desa mengatakan, Pokdarwis yang sekarang dikelola sebagai Bumdes (Badan Usaha Milik Desa) ini berdiri November 2013 atau 11 tahun lalu. “Banyak yang sudah kami kerjakan untuk mengelola desa ini menjadi lebih hidup ekonominya. Sekarang, semua berjalan dengan baik dan dijaga serta dikembangkan,” katanya.
Pada awalnya, katanya, tugas anggota Pokdarwis adalah memperbaiki jalur-jalur sungai agar bisa diatur dan tidak membahayakan penduduk. Menggiring aliran sungai agar sedikit berubah. “Kami membuat usulan kepada Pemprov dan 2022 dibuatkan beberapa shelter. Pos 1 dua, pos 2 satu dan pos 3 satu shelter. Pada awalnya banyak turis mancanegara datang tapi menurun saat bom Bali meletus. Mereka banyak yang melakukan penelitian, wisata dan lainnya,” katanya yang sekarang memilih menjadi pembina Pokdarwis.
Hasriani mengatakan, banyak objek wisata yang bisa dijual di Belangian, seperti arum jeram, pohon-pohon besar, bebatuan purba dan aneka burung, beruang, rusa dan ular. Ada air terjun sebanyak 4 titik. “Tinggi 24 meter ada 4 jam perjalanan. Air terjun kawah kecil. Kalaan kecil dan lainnya. Ada puncak tertinggi. Pulang Kahung besar 1,465 MDPL (meter dari permukaan laut). Ada juga bukit-bukit dengan rata-rata ketinggian 1.000 meter. Baru lima yang terjamah warga tapi belum terlintas pendaki,” katanya.
Ke depan, katanya, Pokdarwis berencana untuk membuat agar lebih menarik lagi wisata yang ada. Serta memperbaiki sarana untuk pengunjung. “Sekarang untuk Mapala (mahasiswa pencinta alam) kami gratiskan semua. Baik Mapala di manapun di Indonesia. Kalau untuk wisatawan Rp100 ribu saja per kepala per 24 jam. Jadi, kami tidak mematok mahal-mahal,” katanya.
Pembakal atau Kepala Desa Belangian Aunul Khair mengatakan, sebutan kepala desa memang kurang popular di sana. Melainkan pembakal yang nama ini juga sudah diatur oleh Peraturan Bupati Banjar. “Pada tahu 1965, namanya desa penduduk kami Desa Kalaan Ada pembangunan Waduh Riam Kanan dimulai Semenjak itulah, mulai dari tahun 1965-1970 mulai mengungsi. Tahun 1970–an, warga kami pindah ke Wilayah Riang Hantu tapi sebentar saja,” katanya.
Saat itu, PLN memberi tahu Desa Riang Hantu akan tenggelam. Batas 65 meter. Di tahun 73 pindah ke Belangin. Sampai 82, jadi desa pemekaran Desa Kalaan. 89 jadi desa definitif jadi Desa Belangian Kenapa awalnya Riang Hantu jadi Belangian. Ada yang namanya Telok Belangian. Tempat sesajen.
“Akhirnya 1982 desa kita harus diberikan nama. Oleh Pemda mengusulkan Belangian. Jadi Belangian dari dua kata. Bale dan Rarangian atau tempat halus. Karena di sini dulu angker. Banyak kepercayaan ada hantu. Ditetapkan jadi desa wisata 2019 oleh Dinas Pariwisara Kabupaten Banjar. Meski sejak 1982 sudah ada berbagai wisata. Edukasi, pertanian, kehutanan, kerajinan dan lainnya,” katanya.
Katanya, untuk edukasi kerajinan, mereka memanfaatkan bahan batik atau sasirangan ekoprint. “Kami memadu padankan dua itu. Jadinya saecoprint. Bahan-bahannya ada di sini. Mulai dari pewarnaan seperti serbuk kayu ulin, serbuk alaban (arang kayu), akar Bingkudu, kunyit, kulit aka sia, kulit mahoni dan lainnya. Untuk motif digunakan daun-daun. Yang bisa digunakan untuk pemotivan warna adalah daun tak banyak air. Daun yang mau tinggalkan jejak di kain. Karena terlalu banyak air dan licin tak bisa dipakai,” katanya.
Untuk pembuatan ada dua cara. Pertama dipukul-pukul (ponding). Kedua kukus. Cuma susun daun di atas lain. “Hasil ecoprint ini istimewa dan langka. Karena tak ada corak daun atau motif yang sama,” sebutnya.
Hutan hujan tropis, katanya, adalah anugerah yang tak terbantahkan oleh penduduk yang mayoritas beragama Islam itu. “Sangat banyak satwa dan pohon. Burung, beruang, ular, monyet rusa dan lainnya. Ada juga burung langka seperti anggang atau harwey. Bulunya katanya bisa menjadi pengusir hama tanaman. Hutan masih perawan. Pesan Geopark meratus tidak hanya bebatuan, pohon dan hewan. Tapi juga melaksanakan pemeliharaan. Kayu-kayu ada yang memelihara. Ada tanggung jawab masing-masing. Satu orang bertanggung jawab terhadap satu jenis pohon,” katanya.
Luas hutan mencapai 24.000 hektare. Ditambah danau Riang Kanan sekitar 9.000 hektare. “Mayoritas penduduk petani, pekebun, peternak. Kami juga menjaga dengan membentuk masyarakat peduli api (MPA). Juga menyediakan kapal atau klotok kecil untuk membantu hal-hal darurat ke pusat kota,” katanya.
Dia menyebut, Desa Belangian masuk dalam kawasan Geopark Meratus atau berada di pengunungan Meratus sebagai salah satu situs dari 54 situs yang ditetapkan secara nasional pada 2018. Desa yang juga masuk kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Adam ditetapkan melalui Keppres RI Nomor 52 tahun 1989 tanggal 18 Oktober 1989.
Desa Belangian juga banyak dikunjungi para peneliti karena sebagai salah satu situs Geopark Pegunungan Meratus Nasional yang kini diajukan untuk diakui UNESCO Global Geopark (UGG).
Pegunungan Meratus merupakan pegunungan dalam ilmu geologi, terbentuk dari susunan kerak samudera yang disebut ophiolite, yang terangkat ke permukaan sejak 200-150 juta tahun lalu.
Dengan potensi sebesar ini, artinya Desa Belangian juga akan sangat terbantu jika kawasan geopark ini menjadi lebih baik dalam pengelolaan. Harapan untuk tetap hidup dan mendapatkan cuan akan terus ada. Di samping menjadi satu tempat penghasil oksigen atau paru-paru dunia. Semoga dari unsur pemerintah, masyarakat adat dan semua pengunjung bisa melestarikannya secara berkelanjutan. (rvi)