Tidak beberapa hari lagi, segenap umat Muslim se antero dunia, akan merayakan hari kemenangan Syawal 1445 H. Hari kemenangan itu di maknai sebagai Idul Fitri. Idul Fitri hakikatnya bermakna kembali kepada fitrah atau kesucian.
Orang yang berpuasa sebulan penuh selama Ramadhan dengan penuh keimanan dan perhitungan maka ia akan mendapatkan ampunan dosa dari Allah SWT, sehingga tepat di Hari raya itu, mereka seakan terlahir kembali sebagai manusia yang bersih dari noda dan dosa.
Idealnya, seorang dewasa yang di gambarkan Allah sebagai manusia yang terlahir kembali, semestinya menghiasai perjalanan hidupnya seperti nol kilometer untuk ke depannya. Tatkala dosa dan noda di hapus, maka tentu saja amal baik yang akan di perbuat pada sisa hidup ini.
Apalagi Ramadhan telah memberikan pelatihan dan pendidikan pada orang yang berpuasa. Kita di latih untuk mengendalikan diri, syahwat dan nafsu. Kita telah di latih hidup sederhana dengan makan hanya di saat sahur dan berbuka. Kita juga di latih untuk dekat dan mencintai Masjid sebagai rumah Allah.
Namun fenomena di lapangan menunjukan bahwa kedekatan umat Islam kepada Masjid seakan tidak seindah yang di bayangkan pasca Ramadhan. Pemandangan keramaian Masjid dengan segala aktifitas ramadhannya, biasanya hanya berlangsung di awal hingga pertengahan ramadhan saja.
Tatkala ramadhan makin meninggalkan kita, maka manusia pun mulai meninggalkan masjid. Sebagian tempat, aktifitas kesibukan akhir ramadhan sudah beralih ke pusat perbelanjaan. Tak tanggung-tanggung, toko-toko dan pusat perbelanjaan keperluan hari raya padat merayap, aktifitasnya pun berlangsung hingga tengah malam.
Setelah Baju lebaran terpenuhi, berikutnya aktifitas rumahan akhir ramadhan adalah membuat berbagai jenis kue lebaran. Seakan tak lengkap lebaran jika tidak memiliki baju baru dan kue yang lengkap, walaupun tidak sempat tarawih.
Masjid/surau yang semula di siang dan malam berdentang dengan kegiatan pesantren ramadhan, tadarusan sampai tengah malam, hingga berbagai ceramah dakwah yang tak kenal waktu. Namun pasca ramadhan semua akan kembali seperti biasa tatkala sebelum ramadhan.
Masjid kembali di ramaikan oleh tiang-tiang penyangga dan beberapa orang pengurus yang masih setia. Pola keramaian masyarakat beralih dari masjid ketempat pusat keramaian lainnya. Pesisir pantai malah ramai berdesak desakan. Ruas jalan terasa sempit karena di isi truk-truk sawit yang membawa anak manusia menuju tempat hiburan.
Kadang-kadang arena pesta pantai di bumbui pula dengan penampilan tarian artis yang menghebohkan. Seolah mereka lupa, seakan berada di dunia gemerlap (dugem) bukan di Hari Raya. Bukankah Ramadhan hakikatnya bulan latihan. Latihan rajin beribadah, latihan mengendalikan nafsu, latihan shalat berjamaah,dll. Maksudnya, selepas Ramadhan semua menjadi kebiasaan yang mesti di pertahankan di luar Ramadhan. Tapi yang terjadi jauh dari perkiraan.
Ramadhan berlalu begitu saja, aktifitas mereka kembali seperti sebelum ramadhan, seakan Ramadhan tak memiliki dampak/ impact terhadap prilaku mereka. Mereka menunggu datangnya ritual Ramadhan tahun yang akan datang. Padahal tidak seorang pun mampu memprediksi apakah mereka akan bertemu dengan Ramadhan berikutnya.
Semoga umat islam di negeri yang kita cintai ini, senantiasa hatinya terpaut dengan masjid. Jika manusia senantiasa mendekat kepada Allah maka niscaya Allah akan lebih dekat kepada kita. (*)