Catatan Akhir Ramadhan

Oleh : H. M. Rifki, M. Ag

Tidak beberapa hari lagi, segenap umat Muslim se an­tero dunia, akan me­rayakan hari keme­nangan Syawal 1445 H. Hari kemenangan itu di maknai sebagai Idul Fitri. Idul Fitri hakikatnya bermakna kembali kepada fitrah atau kesucian.

Orang yang ber­pu­asa sebulan penuh selama Ramadhan dengan penuh keimanan dan perhitungan maka ia akan mendapatkan ampunan dosa dari Allah SWT, sehingga tepat di Hari raya itu, mereka seakan terlahir kembali sebagai manusia yang bersih dari noda dan dosa.

Idealnya, seorang dewasa yang di gambarkan Allah sebagai manusia yang terlahir kembali, semestinya menghiasai perjalanan hidupnya seperti nol kilometer untuk ke depannya. Tatkala dosa dan noda di hapus, maka tentu saja amal baik yang akan di perbuat pada sisa hidup ini.

Apalagi Ramadhan te­lah memberikan pelatihan dan pendidikan pada orang yang berpuasa. Kita di latih untuk mengendalikan diri, syahwat dan nafsu. Kita telah di latih hidup seder­hana dengan makan hanya di saat sahur dan berbuka. Kita juga di latih untuk dekat dan mencintai Masjid se­bagai rumah Allah.

Namun fenomena di lapangan menunjukan bah­wa kedekatan umat Islam kepada Masjid seakan tidak seindah yang di ba­yangkan pasca Ramadhan. Pemandangan keramaian Masjid dengan segala akti­fitas ramadhannya, biasa­nya hanya berlangsung di awal hingga pertengahan ramadhan saja.

Tatkala ramadhan ma­kin meninggalkan kita, ma­ka manusia pun mulai me­ninggalkan masjid. Seba­gian tempat, aktifitas kesi­bukan akhir ramadhan su­dah ber­alih ke pusat per­belanjaan. Tak tanggung-tanggung, toko-toko dan pusat per­belanjaan keper­luan hari raya padat mera­yap, aktifi­tasnya pun be­r­langsung hingga tengah malam.

Setelah Baju lebaran terpenuhi, berikutnya akti­fi­tas rumahan akhir ra­ma­dhan adalah membuat ber­bagai jenis kue lebaran. Se­akan tak lengkap lebaran jika tidak memiliki baju baru dan kue yang lengkap, wa­lau­pun tidak sempat tarawih.

Masjid/surau yang se­mula di siang dan malam berdentang dengan ke­gia­tan pesantren rama­dhan, tadarusan sampai tengah malam, hingga ber­bagai ceramah dakwah yang tak kenal waktu. Na­mun pasca ramadhan se­mua akan kem­bali seperti biasa tatkala sebelum ra­madhan.

Masjid kembali di ra­maikan oleh tiang-tiang penyangga dan beberapa orang pengurus yang ma­sih setia. Pola keramaian masyarakat beralih dari masjid ketempat pusat keramaian lainnya. Pesisir pantai malah ramai ber­desak desakan. Ruas jalan terasa sempit karena di isi truk-truk sawit yang mem­bawa anak manusia me­nuju tempat hiburan.

Kadang-kadang arena pesta pantai di bumbui pula dengan penampilan tarian artis yang menghebohkan. Seolah mereka lupa, sea­kan berada di dunia ge­merlap (dugem) bukan di Hari Raya. Bukankah Ra­madhan ha­kikatnya bulan latihan. La­tihan rajin beri­badah, latihan mengen­dalikan nafsu, lati­han sha­lat berjamaah,dll. Maksud­nya,  selepas Rama­dhan semua menjadi kebia­saan yang mesti di perta­hankan di luar Ramadhan. Tapi yang terjadi jauh dari per­kiraan.

Ramadhan berlalu be­gitu saja, aktifitas mereka kembali seperti sebelum ramadhan, seakan Rama­dhan tak memiliki dampak/ impact terhadap prilaku mereka. Mereka me­nung­gu datangnya ritual Ra­madhan tahun yang akan datang. Padahal tidak seo­rang pun mampu mem­prediksi apakah mereka akan bertemu dengan Ra­madhan berikutnya.

Semoga umat islam di negeri yang kita cintai ini, senantiasa hatinya terpaut dengan masjid. Jika ma­nusia senantiasa mende­kat kepada Allah maka niscaya Allah akan lebih dekat kepada kita. (*)

Exit mobile version