Ramadhan adalah Wahana Evaluasi Diri

Oleh : Dr. A. Riawan Amin, M.Sc

PUASA dan ama­lan sunah di bulan suci Rama­dhan jangan dija­dikan ritualitas bia­sa saja. Tapi hen­daknya dijadikan momentum bagi se­tiap muslim, un­tuk mengintropeksi dan evaluasi diri dengan cara lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT.

“Demi masa. Se­sungguhnya ma­nusia itu benar-be­nar dalam keru­gian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran, dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS al-Ashr: 1-3).

Ayat di atas adalah pe­ringatan Allah kepada kita semua bahwa manusia da­pat menjadi makhluk yang sangat merugi akibat tidak saksama dalam meman­faatkan waktu. Mereka yang beruntung adalah mereka yang beriman, me­yakini sepenuh hati, dan tanpa keraguan sedikit pun dalam dadanya. Dengan tekad bulat serta kete­guhan hati yang mantap bahwa satu-satunya Tuhan yang wajib disembah ada­lah Allah SWT.

Namun, tidak cukup hanya dengan menyata­kan beriman. Nilai-nilai keimanan itu harus senan­tiasa mengejawantah da­lam kehidupan sehari-hari, baik dalam keluarga, di tempat kerja, maupun di mana saja. Nilai-nilai kei­manan itu menjelma da­lam bentuk amalan-ama­lan saleh yang dua di anta­ranya adalah senantiasa saling menasihati dalam menaati kebenaran dan menasihati supaya me­netapi kesabaran.

Ramadhan adalah wa­hana evaluasi diri apakah kita termasuk golongan orang-orang yang merugi ataukah sebaliknya. Sebab, dalam bulan ini, Allah SWT memotivasi kita bahwa kebaikan kita akan di­li­patgandakan. Begitu­pun sebaliknya, jika kita ber­buat buruk, nilai kebu­rukan itu pun akan berlipat gan­da. Ditambah lagi, da­lam bulan ini ter­dapat ma­lam kemuliaan (lailatul qa­dar), di mana malam itu lebih baik dari seribu bulan. Su­bhanallah!

Setiap orang diberikan waktu yang sama, 168 jam per minggu, 86.400 detik per hari. Namun kenya­taan­nya, setiap kita meng­hasilkan output yang ber­beda-beda dari waktu sa­ma yang kita miliki. Pada umur 20 tahun, misalnya, ada yang sudah menjadi direktur, ada yang mampu menghasilkan ratusan bah­­­kan ribuan buku, ada yang sudah mencapai gelar ini dan itu, ada yang sudah mampu hafal dan paham 30 juz Alquran, dan se­terusnya.

Dan sebaliknya, ada pula yang tidak mengha­silkan apa pun. Ini adalah kenyataan. Ada yang meng­hasilkan kebaikan-kebaikan dari waktu yang ada dan ada yang justru menghasilkan keburukan dan kemunduran.

Kita harus sadar bahwa 168 jam tersebut di atas ternyata tidak seluruhnya dapat digunakan untuk hal-hal yang produktif. Setelah dikurangi waktu tidur yang rata-rata mengambil 1/3 waktu hidup kita, tinggal 112 jam. Lalu, dikurangi jam kerja rata-rata 40 jam per minggu, maka tinggal 72 jam per minggu. Pun, diku­rangi waktu berkendaraan menuju dan kembali dari pekerjaan (5 hari x 2 jam = 10 jam).

Maka, tinggal tersisa 62 jam per minggu yang be­nar-benar menjadi waktu milik kita yang bebas kita isi sesuai dengan tujuan-tujuan penting kita: untuk beribadah (hubungan ver­tikal kepada Allah SWT), untuk keluarga, untuk uru­san sosial, dan sebagai­nya. Kecerdasan dalam alokasi waktu ini yang ke­mu­dian akan menentukan seberapa beruntungkah kita dalam hidup ini. Wal­lahu a’lam. (*)

Exit mobile version