Puasa Perisai dari Perbuatan Maksiat

Oleh : Chandra Eka Putra (Kasat Pol PP Kota Padang)

AMALAN puasa Ramadhan adalah perisai bagi seorang Muslim untuk membentengi dirinya dari maksiat dan neraka. Dengan berpuasa, seseorang dapat mengontrol dirinya untuk tidak melakukan mak­siat yang ujungnya mengantar ke ne­raka.

Hal ini juga su­dah diingatkan Ra­sulullah shallal­la­hu’alaihi wa sallam. Beliau shallal­la­hu’alaihi wa sallam bersabda:” Dan pu­asa adalah perisai, maka ketika se­seo­rang berpuasa ja­nganlah berkata-kata kotor, jangan­lah berteriak-teriak dan janganlah melakukan kejahilan, dan apabila ada orang mencacinya atau memeranginya hendaklah ia berkata: Saya sedang puasa, saya sedang puasa.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)

Hadits yang mulia ini menunjukkan keutamaan puasa yang sangat agung, yaitu akan menjadi perisai dari api neraka. Akan tetapi sebelum itu harus menjadi perisai dari maksiat dalam kehidupan dunia ini. Bahkan inilah hakikat puasa, yaitu menahan diri dari perbuatan yang haram.

Puasa bukan sekedar menahan dari makan, minum dan syahwat. Puasa adalah benteng kita dari maksiat. Baik maksiat hati, maksiat lisan, maksiat ma­ta, maksiat telinga, maupun maksiat seluruh anggota badan.

Maksiat adalah lawan dari taat, atau bisa juga dimaknai dosa dan segala bentuk penyimpangan dari perinta Allah. Maksiat kepada Allah artinya menentang perintah Allah dengan meninggalkan perintah dan menjalankan larangan Allah SWT. Maksiat terbesar dalam hidup ini adalah menentang aturan Allah SWT dan menolak syariat Allah SWT.

Dengan demikian orang yang berpuasa akan selalu tunduk patuh kepada Allah SWT, akan selalu taat kepada Allah SWT secara mutlak, menjalankan hukum-hukum-Nya. Da­lam hadits tersebut Rasulullah SAW menjelaskan contoh konsekuensi dari puasa sebagai perisai.

Pertama: Falaa Yarfuts. Janganlah ia melakukan Rofats. Apa itu Rofats?. Rofats adalah mengatakan kata-kata kotor dan me­lakukan perbuatan kotor, termasuk di dalamnya ka­ta-kata dan perbuatan jo­rok dan seronok. Orang yang berpuasa akan selalu menjaga kesucian lisan dan perbuatannya, sehingga terhindar dari perkataan dan perbuatan kotor, jorok, nista dan dosa. Dari mulut dan anggota tubuh orang yang berpuasa akan keluar ucapan dan prilaku yang baik dan indah.

Kedua, wala yashkhob, artinya janganlah ia berteriak-teriak ketika berpuasa. Maksudnya jangan ber­tengkar dan berselisih sehingga berteriak mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas.

Orang yang berpuasa hakikatnya sedang belajar mengendalikan diri, menahan diri dari perselisihan. Sehingga berpuasa sejatinya melahirkan kedamaian, ketenangan dan ketentraman dalam hubungan sosial.

Kalau hari ini kita melihat ada kejadian dan perselisihan dalam kehidupan publik, atau di antara para politisi misalnya, padahal mereka sedang berpuasa, itu berarti puasanya belum sampai pada hakikat. Puasanya masih kulit belum sampai pada inti dari puasa, yaitu tidak menyebar perselisihan,kegaduhan dan provokasi di antara sesama.

Ketiga, jika ada orang yang mencaci, memaki dan memancing emosi, Rasulullah memerintahkan orang yang berpuasa untuk mengatakan : “Aku sedang berpuasa”.

Maksudnya orang yang berpuasa akan selalu me­nahan diri dari mengum­bar emosi, dia akan bersabar untuk tidak membalas siapa saja yang menyakiti, dia akan bersabar menahan amarah. Pua­­sa akan membentengi kita dari bersikap rekatif tanpa berpikir. Puasa adalah latihan menahan emosi dan mengendalikan diri. Dengan begitu orang yang berpuasa pada hakikatnya sedang ditraining untuk menjadi manusia hebat dan kuat.

Tentu,  pada momen Ramadhan ini menjadi rahmat bagi kita untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan harapan kita menjadi insan yang bertakwa. Mari kita jadikan ramadan sebagai pelindung dan pelatihan diri untuk terhindar dari perbuatan maksiat. Tidak hanya sekedar me­nahan haus dan lapar namun, lebih kepada pembentukan karakter, sehingga kita menjadi insan yang bertakwa dan manusia yang berakhlak budi pekerti yang baik.

Diketahui semenjak da­ri leluhur kita orang Minangkabau, tentu masih kental dengan adat istiadat serta filsafat kehidupan hingga saat ini orang Minang masih berpegang teguh kepada Adat Basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah. “Artinya di bulan Ramadan inilah kita perkuat keimanan dan ketakwaan dengan memperbanyak ibadah sebagai jati diri orang Minang.

Di bulan Ramadan ini, tentu kita berharap generasi minang ke depan terhindari dari segala perbuatan maksiat dan hal-hal yang dapat merusak norma-norma dan aqidah kita dalam kehidupan sehari-hari.

Mari kita jadikan bulan penuh ampunan ini untuk pelatihan sikap dan mental kita menjadi insan yang disipilin, baik terhadap diri sendiri, lingkungan maupun dalam kehidupan ber­negara. Sehingga setelah Ramdhan ini usai, kita kem­bali terlahir sebagai insan yang bersih jasmani maupun rohani. (**)

Exit mobile version