Menyambut Ramadhan Mubarak agar Lebih Bermakna

Oleh : H. Mahyeldi, SP (Gubernur Sumbar)

ALHAMDULILLAH tahun ini kita bertemu lagi dengan tamu agung, tamu mulia yang penuh berkah. Sebagai umat Islam, Kita tentu ingin se­gera bertemu de­ngan tamu agung ini. Suatu kerinduan yang cukup beralasan kare­na ia datang setahun sekali. Ibarat sepasang keka­sih, setelah sekian lama tak bertemu, ia sangat merindukannya.

Demikian pula de­ngan Ramadhan, ia ibarat kekasih bagi orang yang beriman. Ra­sulullah SAW bersab­da: “Telah datang ke­pada kalian bulan Ra­madhan, bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan kepada kalian puasa di bulan ini. Pada bulan ini pula pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan para setan jahat diikat. Di sana terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu bulan, barangsiapa terhalangi untuk mendapat kebaikannya, maka ia telah terhalangi untuk jadi baik.” (HR. Ahmad)

Sedemikian mulianya bulan ini hingga Rasulullah dan para sahabatnya mem­persiapkan kedatangan bul­an Ramadhan jauh-jauh hari sebelumnya. Bahkan para ulama salaf menunjukkan keseriusan mereka dengan terus berdoa kepada Allah sejak enam bulan sebe­lumnya.

Mu’alla bin Al-Fadhl, seorang ulama tabi’it- ta­biin berkata: “Dulu para sahabat, selama enam bu­lan sebelum datang Rama­dhan, mereka berdoa agar Allah mempertemukan me­reka dengan bulan Ra­madhan. Kemudian, sela­ma enam bulan sesudah ramadhan, mereka ber­doa agar Allah menerima amal mereka selama bulan Ra­madhan.” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 264)

Tindakan mereka ini merupakan perwujudan kerinduan akan datangnya bulan Ramadhan, per­mo­honan dan bentuk keta­wak­kalan mereka kepada-Nya. Tentunya, mereka tidak ha­nya berdo’a, na­mun per­siapan menyam­but Rama­dhan mereka ir­i­ngi dengan berbagai amal ibadah.

Berjumpa dengan bu­lan Ramadhan merupakan suatu nikmat besar bagi semua orang yang mengi­sinya ibadah untuk berta­qorub kepada Allah SWT, meninggalkan perbuatan maksiat menuju taat, me­ninggalkan lalai menuju ingat Allah SWT. Seseo­rang mendapat pahala dari Allah karena melakukan amal shalih maka se­sung­guhnya dia diliputi karunia Allah dari tiga sisi.

Pertama, Allah mem­buat syari’at berbagai amal ibadah bagi para hamba-Nya; hal ini menjadi sebab diampuninya dosa-dosa dan ditinggikannya derajat mereka. Maka ibadah me­ru­pakan nikmat yang agung, sebab tanpa ada syariat itu kita tidak boleh melakukan ibadah menurut keinginan sendiri; kecuali melalui syariat yang diten­tukan melalui perintah Allah lewat Rasul-Nya.

Kedua, Allah membe­rikan taufiq (bimbingan) kepada manusia untuk me­lakukan amal shalih yang umumnya telah ba­nyak ditinggalkan oleh ma­nusia. Seandainya bukan karena pertolongan Allah serta taufiq-Nya niscaya manusia tidak akan melakukan amal shalih tersebut.

Ketiga, Allah mem­be­rikan anugerah berupa pahala yang banyak, yaitu Allah melipatgandakan satu kebaikan menjadi se­puluh kali lipat hingga tujuh ratus kali lipat dan masih dilipat gandakan lebih ba­nyak lagi.

Maka betapa besar anu­gerah yang Allah beri­kan kepada kita. Ketika kita bisa beramal, maka hal itu merupakan anugerah dari Allah. Ketika kita dapat meraih pahala juga me­rupakan anugerah dari Allah. Oleh karena itu, hen­daknya kita bersemangat untuk bangkit dari kela­laian, memohon kepada Allah agar diberi taufiq untuk mencari bekal beru­pa taqwa, serta meman­faatkan waktu senggang kita untuk mengerjakan berbagai amal shalih.

Allah SWT syariatkan bulan Ramadhan bukan untuk menyusahkan ham­ba-hambaNya, akan tetapi karena Allah ingin agar hati kita menjadi bersih kembali. Allah ingin de­ngan bulan Ramadhan, kita mendapatkan ampunan dari-Nya. Allah ingin de­ngan bulan Ramadhan, kita ditempa dengan pendidi­kan yang luar biasa. Se­hingga menjadi hamba-hamba yang bertakwa ke­pada Allah.

Oleh karena itulah Allah menyebutkan tentang hikmah disyariatkannya shaum. Allah menye­but­kan hikmah shaum agar kita menjadi orang-orang yang bertakwa. Takwa ada­lah modal utama untuk masuk ke dalam surge, dan takwa merupakan bekal yang paling utama dalam kehidupan dunia;. Seba­gaimana Allah menga­ta­kan: “Sesungguhnya se­baik-baiknya perbekalan adalah ketakwaan.” (QS. Al-Baqarah[2]: 197)

Takwa itu yang sebaik-baik seorang hamba ketika ia berjalan di atas dunia ini. Karena dengan takwa itu­lah ia bisa menghadapi berbagai macam pro­ble­matika hidupnya, baik ke­tika dia mendapat anu­gerah kenikmatan hidup maupun ujian penderitaan yang berat.

Rasulullah SAW me­ngisyaratkan bagi orang yang tidak dapat mengam­bil hikmah dan pelajaran dari ibadah ramadhan, se­hingga dia tidak mempe­roleh nilai kebaikan amal shalih ataupun ampunan dosa dari Allah SWT.

Hal ini perlu kita per­hatikan dengan sungguh-sungguh, karena dalam ajaran Islam orang yang menjalankan puasa de­ngan dasar iman dan ikhlas akan memperoleh mapu­nan dari dosa-dosa dari Allah SWT. Sebagaimana Sab­da Rasulullah SAW:  “Ba­rangsiapa berpuasa Ra­ma­dhan atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760).

Yang dimaksud ber­puasa atas dasar iman yaitu berpuasa karena meyakini akan kewajiban puasa. Sedangkan yang dimaksud ihtisab adalah mengharap pahala dari Allah SWT.

Al Khottobi berkata, “Yang dimaksud ihtisab adalah terkait niat yaitu berpuasa dengan niat un­tuk mengharap balasan baik dari Allah. Jika se­seorang berniat demikian, ia tidak akan merasa berat dan tidak akan merasa lama ketika menjalani pu­asa.”

Hadits di atas me­nun­jukkan itulah orang yang berpuasa dengan benar. Benarnya puasanya jika didasari atas iman dan ikhlas karena Allah, meng­harap pahala-Nya, meng­agungkan syari’at-Nya, bukan melakukannya atas dasar riya’, cari pujian atau hanya sekedar ikut-ikutan kebiasaan orang di se­kitarnya.

Kita akan bisa meraih nilai keutamaan dan ke­baikan di bulan Ramadhan bila kita juga memiliki ke­biasaan ibadah. Oleh se­bab itu kebiasaan berbuat baik itu harus kita mulai dari sekarang. Khususnya iba­dah di bulan ramadhan, kita perlu mulai melatih dari waktu sekarang. Karena untuk memulai sesuatu yang kita tidak biasa me­lakukannya amatlah sulit. Apabila kita tidak pernah melakukan suatu amalan, kemudian ingin melaksa­nakan, pasti akan terasa sangat berat dan sulit.

Oleh karena itulah Ra­sulullah SAW telah menga­jarkan pada kita untuk memperbanyak puasa su­nat di bulan Sya’ban. De­mikian pula para Sala­fush Shalih, bahkan mereka di bulan Sya’ban mem­per­banyak membaca Al-Qur’an. Beliau tidak terlihat lebih banyak berpuasa di satu bulan melebihi pua­sanya di bulan Sya’ban, dan beliau tidak menyem­purnakan puasa sebulan penuh kecuali di bulan Ramadhan.

Beribadah kepada Allah memerlukan keikhla­san dan kebersihan hati kita. Apa­bila hati kita masih dikotori oleh syahwat, ma­sih diko­tori oleh hawa naf­su, ketika kita puasa pun seringkali diselingi dengan hal-hal negatif, mubadzir atau lag­ha yang bisa meng­hilang­kan pahala puasa kita.

Demikian pula, kadang kita merasa berat atau malas mengerjakan amal ibadah, hal itu bisa jadi karena dalam diri kita ma­sih dikuasai hawa nafdu duniawiyah lan terkum­pulnya banyak dosa atau maksiat yang menghalangi hidayah Allah menerangi hati kita. Maka kita harus ingat dan mau menyadari diri. Kita harus berani me­ngakui, kita banyak telah dosa dan harus mau ber­tobat agar dibukakan hati kita oleh Allah SWT.

Taubat menunjukkan tanda totalitas seorang dalam menghadapi Ra­madhan. Dia ingin mema­suki Ramadhan tanpa ada­nya sekat-sekat pengha­lang yang akan memper­keruh perjalanan selama mengarungi Ramadhan.

Allah memerintahkan para hamba-Nya untuk bertaubat, karena taubat wajib dilakukan setiap saat. Taubat yang dibutuhkan bukanlah formalitas, yang lidahnya mengucapkan tobat, akan tetapi hatinya lalai, kemudian diwaktu lain mengulangi berbuat dosa lagi. Namun, yang dibutuhkan adalah tobat yang sejati, penuh totalitas dan kejujuran.

Bila tobat tanpa me­miliki ciri demikian, maka yang akan terjadi hanya akan menampilkan pribadi yang di bulan Ramadhan tampak beribadah dan be­r­amal yang baik, akan teta­pi selepas bulan ramadhan hal itu tidak lagi dikerjakan. Memenuhi parintah agama rasanya berat dan malas. Hal ini karena hatinya ma­sih dikuasai hawa nafsu duniawi dan kahlakul mad­zmumah; maka jiwanya kembali sebagaimana se­be­lum ramadhan. Na’ud­zubilah

Kita harus Ingat! Rama­dhan merupakan momentum ketaatan untuk berta­qoruub kepada Allah, seka­ligus madrasah untuk mem­biasakan diri beramal shalih. Inilah hakikat iba­dah di bulan Ramadhan, sehingga jiwa kita siap untuk melanjutkan ketaa­tan-ketaatan di sebelas bulan lainnya

Marilah kita bersung­guh-sungguh dalam mem­persiapkan diri menyam­but kehadiran bulan suci yang agung ini. ibadah di bulan Ramadhan ini hen­daknya penuh makna, bu­kan menjadi beban yang memberatkan diri, apalagi sekedar menjadi rutinitas yang hampa tanpa rasa dan makna. (**)

Exit mobile version