ALHAMDULILLAH tahun ini kita bertemu lagi dengan tamu agung, tamu mulia yang penuh berkah. Sebagai umat Islam, Kita tentu ingin segera bertemu dengan tamu agung ini. Suatu kerinduan yang cukup beralasan karena ia datang setahun sekali. Ibarat sepasang kekasih, setelah sekian lama tak bertemu, ia sangat merindukannya.
Demikian pula dengan Ramadhan, ia ibarat kekasih bagi orang yang beriman. Rasulullah SAW bersabda: “Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan kepada kalian puasa di bulan ini. Pada bulan ini pula pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan para setan jahat diikat. Di sana terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu bulan, barangsiapa terhalangi untuk mendapat kebaikannya, maka ia telah terhalangi untuk jadi baik.” (HR. Ahmad)
Sedemikian mulianya bulan ini hingga Rasulullah dan para sahabatnya mempersiapkan kedatangan bulan Ramadhan jauh-jauh hari sebelumnya. Bahkan para ulama salaf menunjukkan keseriusan mereka dengan terus berdoa kepada Allah sejak enam bulan sebelumnya.
Mu’alla bin Al-Fadhl, seorang ulama tabi’it- tabiin berkata: “Dulu para sahabat, selama enam bulan sebelum datang Ramadhan, mereka berdoa agar Allah mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan. Kemudian, selama enam bulan sesudah ramadhan, mereka berdoa agar Allah menerima amal mereka selama bulan Ramadhan.” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 264)
Tindakan mereka ini merupakan perwujudan kerinduan akan datangnya bulan Ramadhan, permohonan dan bentuk ketawakkalan mereka kepada-Nya. Tentunya, mereka tidak hanya berdo’a, namun persiapan menyambut Ramadhan mereka iringi dengan berbagai amal ibadah.
Berjumpa dengan bulan Ramadhan merupakan suatu nikmat besar bagi semua orang yang mengisinya ibadah untuk bertaqorub kepada Allah SWT, meninggalkan perbuatan maksiat menuju taat, meninggalkan lalai menuju ingat Allah SWT. Seseorang mendapat pahala dari Allah karena melakukan amal shalih maka sesungguhnya dia diliputi karunia Allah dari tiga sisi.
Pertama, Allah membuat syari’at berbagai amal ibadah bagi para hamba-Nya; hal ini menjadi sebab diampuninya dosa-dosa dan ditinggikannya derajat mereka. Maka ibadah merupakan nikmat yang agung, sebab tanpa ada syariat itu kita tidak boleh melakukan ibadah menurut keinginan sendiri; kecuali melalui syariat yang ditentukan melalui perintah Allah lewat Rasul-Nya.
Kedua, Allah memberikan taufiq (bimbingan) kepada manusia untuk melakukan amal shalih yang umumnya telah banyak ditinggalkan oleh manusia. Seandainya bukan karena pertolongan Allah serta taufiq-Nya niscaya manusia tidak akan melakukan amal shalih tersebut.
Ketiga, Allah memberikan anugerah berupa pahala yang banyak, yaitu Allah melipatgandakan satu kebaikan menjadi sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus kali lipat dan masih dilipat gandakan lebih banyak lagi.
Maka betapa besar anugerah yang Allah berikan kepada kita. Ketika kita bisa beramal, maka hal itu merupakan anugerah dari Allah. Ketika kita dapat meraih pahala juga merupakan anugerah dari Allah. Oleh karena itu, hendaknya kita bersemangat untuk bangkit dari kelalaian, memohon kepada Allah agar diberi taufiq untuk mencari bekal berupa taqwa, serta memanfaatkan waktu senggang kita untuk mengerjakan berbagai amal shalih.
Allah SWT syariatkan bulan Ramadhan bukan untuk menyusahkan hamba-hambaNya, akan tetapi karena Allah ingin agar hati kita menjadi bersih kembali. Allah ingin dengan bulan Ramadhan, kita mendapatkan ampunan dari-Nya. Allah ingin dengan bulan Ramadhan, kita ditempa dengan pendidikan yang luar biasa. Sehingga menjadi hamba-hamba yang bertakwa kepada Allah.
Oleh karena itulah Allah menyebutkan tentang hikmah disyariatkannya shaum. Allah menyebutkan hikmah shaum agar kita menjadi orang-orang yang bertakwa. Takwa adalah modal utama untuk masuk ke dalam surge, dan takwa merupakan bekal yang paling utama dalam kehidupan dunia;. Sebagaimana Allah mengatakan: “Sesungguhnya sebaik-baiknya perbekalan adalah ketakwaan.” (QS. Al-Baqarah[2]: 197)
Takwa itu yang sebaik-baik seorang hamba ketika ia berjalan di atas dunia ini. Karena dengan takwa itulah ia bisa menghadapi berbagai macam problematika hidupnya, baik ketika dia mendapat anugerah kenikmatan hidup maupun ujian penderitaan yang berat.
Rasulullah SAW mengisyaratkan bagi orang yang tidak dapat mengambil hikmah dan pelajaran dari ibadah ramadhan, sehingga dia tidak memperoleh nilai kebaikan amal shalih ataupun ampunan dosa dari Allah SWT.
Hal ini perlu kita perhatikan dengan sungguh-sungguh, karena dalam ajaran Islam orang yang menjalankan puasa dengan dasar iman dan ikhlas akan memperoleh mapunan dari dosa-dosa dari Allah SWT. Sebagaimana Sabda Rasulullah SAW: “Barangsiapa berpuasa Ramadhan atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760).
Yang dimaksud berpuasa atas dasar iman yaitu berpuasa karena meyakini akan kewajiban puasa. Sedangkan yang dimaksud ihtisab adalah mengharap pahala dari Allah SWT.
Al Khottobi berkata, “Yang dimaksud ihtisab adalah terkait niat yaitu berpuasa dengan niat untuk mengharap balasan baik dari Allah. Jika seseorang berniat demikian, ia tidak akan merasa berat dan tidak akan merasa lama ketika menjalani puasa.”
Hadits di atas menunjukkan itulah orang yang berpuasa dengan benar. Benarnya puasanya jika didasari atas iman dan ikhlas karena Allah, mengharap pahala-Nya, mengagungkan syari’at-Nya, bukan melakukannya atas dasar riya’, cari pujian atau hanya sekedar ikut-ikutan kebiasaan orang di sekitarnya.
Kita akan bisa meraih nilai keutamaan dan kebaikan di bulan Ramadhan bila kita juga memiliki kebiasaan ibadah. Oleh sebab itu kebiasaan berbuat baik itu harus kita mulai dari sekarang. Khususnya ibadah di bulan ramadhan, kita perlu mulai melatih dari waktu sekarang. Karena untuk memulai sesuatu yang kita tidak biasa melakukannya amatlah sulit. Apabila kita tidak pernah melakukan suatu amalan, kemudian ingin melaksanakan, pasti akan terasa sangat berat dan sulit.
Oleh karena itulah Rasulullah SAW telah mengajarkan pada kita untuk memperbanyak puasa sunat di bulan Sya’ban. Demikian pula para Salafush Shalih, bahkan mereka di bulan Sya’ban memperbanyak membaca Al-Qur’an. Beliau tidak terlihat lebih banyak berpuasa di satu bulan melebihi puasanya di bulan Sya’ban, dan beliau tidak menyempurnakan puasa sebulan penuh kecuali di bulan Ramadhan.
Beribadah kepada Allah memerlukan keikhlasan dan kebersihan hati kita. Apabila hati kita masih dikotori oleh syahwat, masih dikotori oleh hawa nafsu, ketika kita puasa pun seringkali diselingi dengan hal-hal negatif, mubadzir atau lagha yang bisa menghilangkan pahala puasa kita.
Demikian pula, kadang kita merasa berat atau malas mengerjakan amal ibadah, hal itu bisa jadi karena dalam diri kita masih dikuasai hawa nafdu duniawiyah lan terkumpulnya banyak dosa atau maksiat yang menghalangi hidayah Allah menerangi hati kita. Maka kita harus ingat dan mau menyadari diri. Kita harus berani mengakui, kita banyak telah dosa dan harus mau bertobat agar dibukakan hati kita oleh Allah SWT.
Taubat menunjukkan tanda totalitas seorang dalam menghadapi Ramadhan. Dia ingin memasuki Ramadhan tanpa adanya sekat-sekat penghalang yang akan memperkeruh perjalanan selama mengarungi Ramadhan.
Allah memerintahkan para hamba-Nya untuk bertaubat, karena taubat wajib dilakukan setiap saat. Taubat yang dibutuhkan bukanlah formalitas, yang lidahnya mengucapkan tobat, akan tetapi hatinya lalai, kemudian diwaktu lain mengulangi berbuat dosa lagi. Namun, yang dibutuhkan adalah tobat yang sejati, penuh totalitas dan kejujuran.
Bila tobat tanpa memiliki ciri demikian, maka yang akan terjadi hanya akan menampilkan pribadi yang di bulan Ramadhan tampak beribadah dan beramal yang baik, akan tetapi selepas bulan ramadhan hal itu tidak lagi dikerjakan. Memenuhi parintah agama rasanya berat dan malas. Hal ini karena hatinya masih dikuasai hawa nafsu duniawi dan kahlakul madzmumah; maka jiwanya kembali sebagaimana sebelum ramadhan. Na’udzubilah
Kita harus Ingat! Ramadhan merupakan momentum ketaatan untuk bertaqoruub kepada Allah, sekaligus madrasah untuk membiasakan diri beramal shalih. Inilah hakikat ibadah di bulan Ramadhan, sehingga jiwa kita siap untuk melanjutkan ketaatan-ketaatan di sebelas bulan lainnya
Marilah kita bersungguh-sungguh dalam mempersiapkan diri menyambut kehadiran bulan suci yang agung ini. ibadah di bulan Ramadhan ini hendaknya penuh makna, bukan menjadi beban yang memberatkan diri, apalagi sekedar menjadi rutinitas yang hampa tanpa rasa dan makna. (**)