JAKARTA, METRO–Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pleno perkara nomor 114/PUU-XX/2022 terkait uji materi UU Pemilu soal sistem pemilihan legislatif proporsional terbuka, Kamis (26/1), dengan agenda mendengarkan keterangan DPR, Presiden, dan KPU.
DPR yang diwakili oleh Komisi III, dalam pandangannya mempertanyakan kedudukan hukum para pemohon yang dianggap tidak mengalami kerugian secara konstitusional akibat berlakunya sistem proporsional terbuka.
Sebelumnya, para pemohon menilai bahwa penerapan sistem proporsional terbuka melanggar ketentuan Pasal 28D UUD 1945, sesuatu yang dibantah DPR. Padahal DPR menilai, sistem ini sudah baik dalam memenuhi derajat keterwakilan pemilih.
Sistem proporsional terbuka memberi kebebasan kepada pemilih untuk memilih langsung perwakilannya di lembaga legislatif dan dapat terus mengontrol wakil yang dipilihnya tersebut.
“Pemilu harus menjaÂmin tersalurkannya suara rakyat secara langsung, bebas, rahasia, jujur, dan adil sebagaimana diamaÂnatkan pula dalam pasal 22E ayat 1 UUD 1945. Semangat mewujudkan cita hukum tersebut juga diwujudkan melalui pasal-pasal a quo UU Pemilu yang diujikan para pemohon,” tutur Supriansa.
“Para pemohon tetap mendapatkan haknya untuk memilih dan dipilih daÂlam kontestasi pemilu. Pasal-pasal a quo UU Pemilu sama sekali tidak melanggar hak konstitusional para pemohon mendapatkan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum. DPR RI berpandangan bahwa para pemohon tidak memiliki legal standing,” ungkap perwakilan Komisi III, Supriansa dari Fraksi Golkar, di podium MK.
DPR mengutip putusan MK nomor 22-24/PUU-XX/2008 yang pada intinya menguatkan penerapan sistem proporsional terbuka dengan pertimbangan bahwa sistem ini “memperluas dimensi keadilan dalam pembangunan politik yang telah menganut sistem pemilihan langsung” karena mengatur kemenangan caleg berdasarkan suara terbanyak.
DPR menilai, sistem ini sudah baik dalam memeÂnuhi derajat keterwakilan pemilih, karena pemilih lah yang memilih langsung perwakilannya di lembaga legislatif dan dapat terus mengontrol orang yang dipilihnya itu.
“Pemilu harus menjaÂmin tersalurkannya suara rakyat secara langsung, bebas, rahasia, jujur, dan adil sebagaimana diamaÂnatkan pula dalam pasal 22E ayat 1 UUD 1945. Semangat mewujudkan cita hukum tersebut juga diwujudkan melalui pasal-pasal a quo UU Pemilu yang diujikan para pemohon,” kata Supriansa.
“Hal itu akan menciptakan keadilan bukan hanya kepada caleg namun bagi rakyat dalam mengguÂnakan hak pilihnya. Sistem proporsional terbuka akan menyebabkan kemenangan seorang caleg tidak hanya bergantung pada kebijakan parpol peserta pemilu tapi didasarkan pada seberapa besar dukungan rakyat yang yang diberikan kepada calon tersebut,” jelasnya.
Sama halnya dengan perwakilan Fraksi Golkar, Kuasa Hukum Partai Keadilan Sejahtera, Zainudin Paru menyebut pemohon tidak memiliki legal standing sebagaimana yang diatur dalam undang undang terkait uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
“Hari ini kita alhamdulillah PKS diberi kesempatan untuk hadir sebagai pihak terkait di Mahkamah Konstitusi dalam Judicial Review pasal 168 UU no 7 tahun 2017 yang menjadi alasan untuk mengubah sistem pemilu dari proporsional terbuka ke proporsional tertutup,” tutur ZaiÂnuddin.
“Kami memandang seÂtiÂdaknya ada tiga poin penÂting pertama, pemohon tiÂdak punya legal standing, sebagaimana merujuk paÂsal 22 ayat 3 yang seharusnya mengajukan produk Undang-undang ke Mahkamah Konstitusi adalah partai politik,” sambungnya.
Namun demikian, pandangan DPR RI ini tidak mewakili fraksi PDI-P yang diberikan kesempatan oleh majelis hakim untuk menyampaikan pandangannya sendiri dalam sidang pleno.
Sejak awal, PDI-P menjadi satu-satunya partai politik di parlemen yang secara terbuka setuju dengan usul kembalinya sistem proporsional tertutup, vis a vis dengan delapan partai politik parlemen lain yang secara terang-terangan menolak. (*)