Menurutnya, Abdul Wahid juga menggunakan tekanan jabatan untuk memastikan permintaan tersebut dipenuhi. Melalui Arief, Abdul Wahid mengancam akan mencopot atau memutasi pejabat Dinas PUPR-PKPP yang tidak bersedia menyetujui permintaan tersebut.
“Di kalangan Dinas PUPR-PKPP Riau, permintaan ini dikenal dengan istilah ‘jatah preman’,” tegasnya.
Tak lama kemudian, Sekretaris Dinas bersama seluruh Kepala UPT kembali menggelar pertemuan dan menyepakati besaran fee untuk Gubernur sebesar 5 persen.
Kesepakatan itu kemudian dilaporkan kepada Kepala Dinas menggunakan kode “7 batang” yang berarti Rp 7 miliar. Uang tersebut diduga dikumpulkan secara bertahap dari beberapa unit kerja di lingkungan Dinas PUPR-PKPP.
Atas perbuatannya, KPK menetapkan Abdul Wahid sebagai tersangka tindak pidana korupsi terkait fee penambahan anggaran di Dinas PUPR-PKPP Riau. Selain Abdul Wahid, dua nama lain yang juga ditetapkan sebagai tersangka adalah Kepala Dinas PUPR-PKPP Muhammad Arief Setiawan dan Tenaga Ahli Gubernur Riau, Dani M. Nursalam.
Mereka disangkakan melanggar Pasal 12e dan/atau pasal 12f dan/atau pasal 12B UU Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (jpg)














