“Setiap warga negara, termasuk jaksa, seharusnya dapat dikenai tindakan hukum tanpa perlakuan istimewa. Norma Pasal 8 ayat (5) berpotensi menimbulkan keistimewaan dan melemahkan prinsip negara hukum,” ujar Arsul dalam pembacaan pertimbangan.
MK menilai ketentuan izin dari Jaksa Agung untuk memeriksa jaksa berpotensi menjadi tameng hukum yang melanggar asas kesetaraan. Karena itu, MK menegaskan pasal tersebut hanya berlaku dalam konteks pelaksanaan tugas, dan tidak dapat digunakan untuk melindungi jaksa yang melakukan tindak pidana murni.
MK mengubah pendirian dari putusan sebelumnya, yakni Putusan Nomor 55/PUU-XI/2013, yang pernah menyatakan norma serupa konstitusional. Kini, Mahkamah menilai perlindungan hukum bagi jaksa harus selaras dengan perlakuan terhadap penegak hukum lain, seperti hakim atau polisi.
“Tidak ada alasan bagi jaksa mendapatkan perlakuan istimewa dibanding penegak hukum lainnya. Prinsip equality before the law harus dijaga,” tegas Arsul.
Meski demikian, putusan ini tidak diambil secara bulat. Dua hakim konstitusi, Arief Hidayat dan M. Guntur Hamzah, menyatakan pendapat berbeda atau dissenting opinion.
Menurut keduanya, ketentuan Pasal 8 ayat (5) bukanlah bentuk imunitas absolut, melainkan mekanisme perlindungan agar jaksa dapat bekerja profesional tanpa tekanan.
Mereka juga menilai peran Jaksa Agung sebagai advokat general dalam memberikan pertimbangan hukum justru memperkuat prinsip check and balances dalam sistem penegakan hukum nasional.
“Ruang partisipasi jaksa agung sebagai advokat general dalam memberikan pertimbangan hukum teknis dalam proses kasasi apabila dilakukan secara professional, transparan dan akuntabel sejatinya memperkuat prinsip check and balances dalam konteks mewujudkan penegakkan keadilan,” pungkasnya. (jpg)














