Oleh : Raymon LM
Direktur Eksekutif Indonesia’s Public Policy Research & Advocacy (IPPRA)
Aktivis ’98
RUU Perampasan Aset telah lama menjadi wacana hukum yang menggantung di meja DPR. Substansinya jelas: negara berupaya menghadirkan instrumen hukum baru untuk merampas aset hasil tindak pidana tanpa harus menunggu vonis pidana yang berkekuatan hukum tetap. Mekanisme ini dikenal sebagai non-conviction based asset forfeiture dan telah dipraktikkan di banyak negara.
Dari perspektif kebijakan publik, urgensi RUU ini tidak bisa ditunda. Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan potensi kerugian negara akibat korupsi sepanjang 2015–2022 mencapai Rp 160 triliun, namun yang berhasil dipulihkan lewat eksekusi hanya sekitar Rp 30 triliun. Selisih puluhan triliun rupiah inilah yang membuat rakyat bertanya-tanya: ke mana larinya uang negara, dan mengapa instrumen hukum kita begitu tumpul?
Indonesia sebenarnya sudah memiliki kewajiban internasional untuk menutup celah ini. Melalui UU No. 7 Tahun 2006, Indonesia meratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003, yang secara eksplisit menekankan kewajiban negara anggota untuk membangun mekanisme pemulihan aset (asset recovery). Jadi, alasan hukum maupun moral sama-sama kuat.
Namun, seperti biasa, proses politik di DPR berjalan lambat. Pembahasan RUU ini berkutat pada perdebatan klasik: apakah pembuktian terbalik akan melanggar asas presumption of innocence? Apakah hak konstitusional kepemilikan harta bisa terganggu? Apakah aparat penegak hukum bisa dipercaya untuk tidak menyalahgunakan kewenangan? Kekhawatiran itu valid, tetapi justru menegaskan perlunya desain kelembagaan yang transparan, bukan alasan untuk menunda.
Dari sudut pandang advokasi, lambannya pembahasan ini justru menguatkan asumsi publik: DPR tidak serius. Padahal, di luar sana rakyat kehilangan kepercayaan pada negara karena melihat koruptor hidup nyaman, sementara aset hasil kejahatannya sulit disentuh.








